AGAMA DAN ILMU FILSAFAT
Rizca Amira Puspa 11150810000084
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2018 M
A.
Sejarah
Kelahiran Filsafat
1.
Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kehidupan penduduknya
sebagai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar penduduknya tinggal di
daerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur perdagangan di Laut
Tengah. Kebiasaan mereka hidup di alam bebas sebagai nelayan itulah mewarnai kepercayaan
yang dianutnya, yaitu berdasarkan kekuatan alam, sehingga beranggapan bahwa
hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya
kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia.
Kepercayaan yang bersifat formalitas (natural religion)
tidak memberikan kebebasan kepada manusia, ini ditentang oleh Homerus dengan
dua buah karyanya yang terkenal, yaitu Ilias dan Odyseus. Kedua karya Homerus
itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif. Sedemikian besar
peranan karya Homerus, sama kedudukannya seperti wayang purwa di Jawa.
Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir yang
berkepercayaan sangat bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan
pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu
dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural religius berubah
menjadi sistem cultural religius.
Dalam sistem kepercayaan natural religius ini manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan kultural religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Dalam sistem kepercayaan natural religius ini manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan kultural religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah Thales (625 –
545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika. Likipos dan
Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan ilmu
kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan
teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles
mengembang teori tentang dunia dan benda serta berhasil mengumpulkan data 500
jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari
Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang
sampai sekarang masih terkenal.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos yaitu mite kosmogonis (tentang asal usul alam semesta) dan mite kosmologis (tentang asal-usul serta sifat kejadian-kejadia dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai mencari asche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos yaitu mite kosmogonis (tentang asal usul alam semesta) dan mite kosmologis (tentang asal-usul serta sifat kejadian-kejadia dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai mencari asche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya pada alam semesta
maka corak pemikirannya kosmosentris. Sedangkan para ahli pikir seperti
Socrates, Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa Yunani Klasik karena arah
pemikirannya pada manusia maka corak pemikiran filsafatnya antroposentris. Hal
ini disebabkan, arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut
memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya.
2.
Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana
halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat
atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen.
Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan
semua persoalan selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran
kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 Masehi, setelah mendapatkan dukungan
dari Karel Agung, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran
gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi dan musik. Keadaan yang
demikan akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang
ditandai berdirinya universitas-universitas dan ordo-ordo. Dalam ordo inilah
mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama, seperti Anselmus
(1033 – 1109), Abaelardus (1079 – 1143), Thomas Aquinas (1225 – 1274).
Di kalangan para ahli pikir Islam (periode filsafat
Skolastik Islam) muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Bajah,
Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode skolastik Islam ini berlangsung tahun 850 –
1200. pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan
berkembang dengan pesat. Akan tetapi setelah jatuhnya kerajaan Islam di Granada
di Spanyol tahun 1492 mulailah kekuasaan Politik Barat menjarah ke Timur. Suatu
prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang filsafat. Di sini mereka merupakan mata rantai yang mentransfer filsafat
Yunani, sebagaimana yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Islam di Timur terhadap
Eropa dengan menambah pikiran-pikiran Islam sendiri. Para filosof Islam sendiri
sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan
Al-Qur’an adalah benar, mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara
agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa yang merupan
sumbangan Islam yang paling besar, yang besar pengaruhnya terhadap ilmu
pengetahuan dan pemikiran filsafat terutama dalam bidang teologi dan ilmu
pengetahuan alam. Peralihan dari abad pertengahan ke abad modern dalam sejarah
filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi), yaitu munculnya
Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad 15-16. munculnya
Renaisance dan Humanisme inilah yang mengawali masa abad modern. Mulai zaman
modern inilah peranan ilmu alam kodrat sangat menonjol, sehingga akibatnya
pemikiran filsafat semakin dianggap sebagai teologi, yaitu sebagai suatu sarana
untuk menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh
akal manusia.
3.
Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat berhasil
menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan,
sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya
mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman.
Di atas telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance dan
Humanisme sebagai awal masa abad modern. Di mana para ahli (filosof) menjadi
pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor
perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Dan pemikiran filsafat masa
abad modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah.
Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran
filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam
dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang menggunakan metode induksi
/ eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah, akibatnya perkembangan
pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu alam kodrat (natural
sciences). Rene Descartes (1596 – 1650) sebagai bapak filsafat modern yang
berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam dengan
ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat. Upaya ini dimaksudkan, agar kebenaran
dan kenyataan filsafat juga sebagai kebenaran dan kenyataan yang jelas dan
terang.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah
kepada filsafat ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat diisi dengan upaya
manusia, bagaimana cara / sarana apa yang dipakai untuk mencari kebenaran dan
kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley (1685 – 1753), David Hume (1711 –
1776), Rousseau (1722 – 1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft (1679 – 1754) dan
Immanuel Kant (1724 – 1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu
pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk
pengertian-pengertian yang jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah
belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk suatu kepribadian
tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada filsafat Amerika,
filsafat Perancis, filsafat Inggris, filasafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah
Hegel (1770-18311), Karl Marx (1818 -1883), August Comte (1798 -1857), JS. Mill
(1806 – 1873), John Dewey (1858 – 1952).
Akhirnya dengan munculnya pemikiran filsafat yang
bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi pemikiran filsafat yang
mendominasi. Giliran selanjutnya lahirlah filsafat kontemporer atau filsafat
dewasa ini.
4. Masa Abad Dewasa Ini
Filsafat dewasa ini atau filsafat abad ke-20 juga disebut
Filsafat Kontemporer yang merupakan ciri khas pemikiran filsafat adalah
desentralisasi manusia. Karena pemikiran filsafat abad ke-20 ini memberikan
perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika sosial.
Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah; arti
kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul karena bahwa
realitas sekarang ini banyak bermunculan berbagai istilah, di mana cara pemakaiannya
sering tidak dipikirkan secara mendalam, sehingga menimbulkan tafsir yang
berbeda-beda (bermakna ganda). Maka timbullah filsafat analitika, yang di
dalamnya membahas tentang cara berpikir untuk mengatur pemakaian kata-kata /
istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, dan sekaligus dapat menunjukkan
bahaya-bahaya yang terdapat di dalamnya. Oleh karena bahasa sebagai obyek
terpenting dalam pemikiran filsafat, maka para ahli pikir menyebut sebagai
logosentris.
B.
Pengertian
Filsafat
Istilah
“filsafat” sendiri dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.
Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah”, (Nasution, 1779:
9) yang berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti “philos” yaitu cinta,
suka, dan “sophia” yaitu
pengetahuan, hikmah. Jadi “philosophia” berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
“philosopher”, dalam bahasa
Arabnya “failasuf” (Hasyimsyah,
1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai
tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2.
Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat
berarti “alam
pikiran”
atau “alam
berpikir”.
Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir
berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah
filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi
secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir
adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal
seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan
sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan universal.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat adalah:
1.
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya;
2.
Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu
kegiatan;
3.
Ilmu yang berintikan logika, estetika,
metafisika, dan epistemologi.
Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya
lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara
para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan beberapa definisi
ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
1.
Plato (427 - 347 SM).
Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang asli).
2.
Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki
sebab dan asas segala benda).
3.
Al-Kindi (800 - 870). Kegiatan manusia
yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar
mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia.
Bagi filsafat yang paling
mulia adalah filsafat pertama yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan sebab dari segala kebenaran.
4.
Ibnu Sina (980-1037). Fisika dan
metafisika sebagai suatu badan ilmu tak terbagi. Fisika mengamat-amati yang ada
sejauh itu ada dan mengarah, mengetahui seluruh kenyataan sejauh dapat dicapai
oleh manusia. Hal pertama yang dihadapi oleh seorang filusuf adalah bahwa yang
ada (berwujud) berbeda-beda.
5.
Ibnu Rusyd (1126-1198). Filsafat itu
hikmah yang merupakan pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia sebab
ia dikaruniai oleh Allah dengan akal. Filsafat diwajibkan pula oleh Al-Qur’an
agar manusia dapat mengagumi karya tuhan dalam persada dunia.
C.
Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya’lamu-ilman dengan
wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. Dalam
bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan) scire (mengetahui). Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.
Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk,
yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang
dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material
ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek
material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Baik ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari
pengetahuan dan pengetahuan yang dicari itu ialah pengetahuan yang benar. Dalam
segi ini maksud kedua-duanya sama tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan.
Pengetahuan ilmu melukiskan, sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan.
D.
Pengertian
Agama
Kata agama berasal dari dua suku kata yaitu “A”
yang berarti tidak ada “Gama” yang berarti kacau. Jadi agama
berarti tidak kacau. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Albert Einsten (1879-1955) seorang ahli pikir
bangsa Yahudi berkewarganegaraan Amerika Serikat, teoritikus terbesar dalam
bidang ilmu alam, pemenang hadiah nobel tahun 1921 untuk sumbangan pada bidang
fisika teori, tentang agama dan ilmu beliau berkata: “Ilmu tanpa agama adalah
buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan
istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga
mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang
ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah
agama dan religi. Konsep
din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang
mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus
dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu
Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia
dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13
mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat
As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang
dianggap Tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat
tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan
konsep syariat.
Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan”
yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkembang
menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana
ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep
agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan
penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan
empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin
ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang
tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan
pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek
moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan
baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran
tentang aturan hidup bermasyarakat.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka
bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama
samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah.
Kedua, agama ardhi
(agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.
E.
Objek Materi Filsafat dan Objek Formal Filsafat
1.
Objek Materi Filsafat
Adalah segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada yang meliputi segala sesuatu yang konkrit
seperti manusia, benda, binatang, dan lain-lain maupun yang bersifat abstrak.
Tentang objek materi ini banyak yang sama dengan objek materi sains, bedanya
ialah dalam dua hal pertama: sains menyelidiki hal yang empiris, filsafat
menyelidiki objek itu juga tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian
yabg abstrak. Kedua: ada objek materi filsafat yang tidak diteliti oleh sains
seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materi yang untuk selama-lamanya tidak
empiris jadi objek materi filsafat lebih luas dari objek materi sains.
2.
Objek Formal Filsafat
Cara memandang
seorang peneliti terhadap objek materi tertentu. Suatu objek materi tertentu
dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda, yang mana objek
formal filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Kata mendalam artinya ingin
tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karea
ia hanya ingin tau sampai batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Sedangkan
objek penelitian filsafat adalah pada daerah tidak dapat diriset tetapi dapat
dipilarkan secara logis jadi sains menyelidiki dengan riset sedangkan filsafat
menyelidiki dengan pemikiran.
F. Ciri-Ciri
Pemikiran Filsafat
Semua manusia
hidup yang normal senantiasa ditandai dengan kegiatan yang khas yaitu berpikir.
Kegiatan berpikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, namun
tidak semua kegiatan berpikir disebut dengan kegiatan berfilsafat. Demikian
juga kegiatan secara kefilsafatan bukan hanya merenung atau kontenplasi
belakang yang itdak ada sangkut pautnya dengan realita, namun berpikir secara
kefilsafatan senantiasa berkaitan dengan masalah manusia dan bersifat aktual
dan hakiki.
Maka suatu
kegiatan berpikir secara kefilsafatan pada hakikinya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Berpikir Kritis
Suatu kegiatan berpikir secara
kefilsafatan senantiasa bersifat kritis yaitu senantiasa mempertannyakaan
segala sesuatu, problem-problem, atau hal-hal yang lain. Sifat kritis ini
juga mengawali perkembanggan ilmu pengetahuan modern.
2.
Bersifat Konseptual
Berpikir secara konseptual, yaitu mengenai
hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal
serta proses-proses individual. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog,
melainkan bersangkutan dengan pemikiran.
3.
Koheren (runtun)
Berpikir secara koheren dan konsisten.
Artinya, berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir dan tidak mengandung
kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berpikir secara runtut.
4.
Komprehensif (menyeluruh)
Berpikir secara komprehensif (menyeluruh). Berpikir
secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
5.
Bersifat Universal
Berfikir secara universal atau umum. Berfikir
secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat
umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari
hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
6.
Bersifat Terdalam
Berpikir secara universal atau umum. Berpikir
secara umum adalah berpikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat
umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari
hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
7.
Bersifat
Sistematis
Sistematik artinya pendapat yang merupakan
uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung
adanya maksud atau tujuan tertentu.
8.
Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab artinya seseorang yang
berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap
hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
G.
Cabang-Cabang Filsafat
Dalam studi
filsafat untuk memahaminya secara baik kita harus mempelajari cabang-cabang
filsafat:
1.
Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa yunani “meta
ta phisika” yang berarti hal-hal yang berada sesuda fisika, istilah
tersebut dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang segala sesuatu secara
mendalam atau sifat yang terdalam dari suatu kenyataan. Dibandingkan dengan
ilmu fisika yaitu yang mempelajari gejala-gejala fisik ilmu biologi yang mempelajari
fisis dan makhluk hidup. Maka metafisika mempelajari dan membahas tentang
keberadaan segala sesuat benda fisis dari segi hakikatnya yang
terdalam yang memuat suatu bagian dari prsoalan dari filsafat yang:
a.
Membicarakan tentang prnsip-prinsip yang paling universal
b.
Membicarakan sesuatu yang bersifat
keluarbiasaan
c.
Membicarakan persoalan-persoalan seperti:
hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kemerdekaan, wujud
tuhan, kehidupan setelah mati dan lain-lain.
2.
Epistemologi
Epistermologi berasal dari bahasa yunani “epistermo” (pengetahuan)
secara umum epistermologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran pengetahuan tentang 3 persoalan
pokok dalam epistermologi yaitu:
a.
Problem asal pengetahuan (orgin)
Apakah sumber-sumber pengetahuan?
Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?
b.
Problem penampilan (appearance)
Apakah yang menjadi karakteristik dari pengetahuan?
Apakah dunia yag riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita
mengetahuinya?
c.
Problem mencoba kebenaran (virification)
Apakah pengetahuan itu benar?
Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?
3.
Logika
Adalah bidang ilmu pengetahuan yang
mempelajari segenap asa, aturan dan tata cara penalaran yang benar. Pada
mulanya logika sebagai pengetahuan rasional, logika pada hakikatnya mempelajari
teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu bahan-bahan tertentu. Oleh
Aristoteles logika disebutnya sebagai analitik yang kemudian dikembangkan oleh
para ahli abad tengah yang disebut logika tradisional, mulai abad ke-19 George
Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern ,sehingga dewasa
ini logika menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi-lagi semata
bersifat falsafati tetapi bercorak teknis dan ilmiah.
4.
Etika
Etika / prilaku filsafat sebagai suatu cabang
filsafat yang membicarakan tindakan manusia dengan penekan baik dan buruk. Terdapat
dua permasalahan, yaitu yang menyangkut tindakan dan baik-buruk. Apabila
permasalahan jatuh pada tindakan maka etika disebut sebagai “filsafat praktis”
sedangkan jatuh pada baik-buruk maka etika disebut “filsafat normatif”.
Dalam pemahaman etika sebagai pengetahuan
mengenai baik-buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Sejalan
dengan ini etika berbeda dengan agama yang didalamnya juga memuat dan
memberikan norma baik-buruk dalam tindakan manusia. Karena etika mengandalkan
pada rasio semata yang lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan sumber
norma ilahi dan etika lebih cenderung bersifat analitis dari pada praktis, sehingga
etika adalah ilmu yang berkerja secara rasional.
5.
Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang metode terutama dalam kaitannya dengan metode ilmiah. Hal ini
sangat penting dalam ilmu pengetahuan terutama dalam proses
pengembangannya. Misalmnya metode ilmiah dalam ilmu sejarah, ilmu sosiologi, ilmu
ekonomi dan lain sebagainya.
6.
Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas
tentang keindahan estetika. Kata estetika berasal dari bahasa yunani “aesthetikaos” yang
artinya bertalian dengan pencerapan (penginderaan).
H.
Metode-Metode Filsafat
Metode yang
digunakan memecahkan problem-problem filsafat, berbeda dengan metode yang
digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga macam metode untuk mempelajari
filsafat, diantaranya:
1.
Metode Sistematis
Metode ini bertujuan agar perhatian
pelajar / mahasiswa terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada
metode. Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan
yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari
teori hakikat, teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi
lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas setiap cabang atau
subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas.
2.
Metode Histories
Metode ini digunakan untuk
mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya dapat dibicarakan dengan
demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misalnya dimulai dari membicarakan
filsafat thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam
teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas
dilanjutkan dalam membicarakan Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan
seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer.
3.
Metode Kritis
Metode ini digunakan oleh orang-orang yang
mempelajari filsafat tingkat intensif. Sebaiknya metode
ini digunakan pada tingkat sarjana. Disini pengajaran filsafat dapat
mengambil pendekatan sistematis ataupun histories.
Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba
mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga
berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun
menggunakan pendapat filusuf lain.
I.
Persamaan
antara Filsafat, Ilmu dan Agama
1.
Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya
menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
2.
Ketiganya memberikan pengertian mengenai
hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan
mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
3.
Ketiganya hendak memberikan suatu pandangan
yang bergandengan.
4.
Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
5.
Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang
kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan
pengetahuan yang lebih mendasar.
J.
Perbedaan
antara Filsafat, Ilmu dan Agama
a.
Filsafat dan Ilmu
FILSAFAT
|
ILMU
|
Induk ilmu
|
Anak filsafat
|
Filsafat memiliki objek lebih luas, sifatnya
universal
|
Objeknya terbatas (bidangnya saja)
|
Sinoptik, memandang dunia dan alam semesta
sebagai keseluruhan untuk dapat menerangkannya,
menafsirkannya, dan memahaminya secara utuh
|
Deskriptif dan analitis, memeriksa semua
gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut
bagian-bagiannya
|
Bukan hanya menekankan keadaan sebenarnya
dari objek, melainkan juga bagaimana seharusnya objek itu. Manusia dan nilai
merupakan faktor penting
|
Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan
objeknya, netral, dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia
|
Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi
|
Memulai sesuatu dengan menggunakan
asumsi-asumsi
|
Menggunakan semua penemuan ilmu pengetahuan,
menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan menggunakan pikiran
|
Menggunakan metode eksperimen yang terkontrol
dengan cara kerja dan sifat terpenting, menguji sesuatu dengan menggunakan
indra manusia
|
b.
Filsafat dan Agama
FILSAFAT
|
AGAMA
|
Filsafat berarti berpikir, jadi
yang penting ialah ia dapat berpikir
|
Agama berarti mengabdi diri, jadi yang
penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu
|
Menurut William Tample, filsafat adalah
menuntut pengetahuan untuk memahami
|
Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat terutama
yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan
|
C.S. Lewis membedakan “enjoymen” dan “contemplation”,
misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta daisebut enjoymen, sedangkan
memikirkan rasa cintannya disebut contemplation, yaitu pikiran si pecinta
tentang rasa cintanya itu
|
Agama dapat dikiaskan dengan enjoymen atau
rasa cinta seseorang, rasa pengabdian
(dedication) atau contentmen.
|
Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran
yang diingin dan tenang
|
Agama banyak berhubungan dengan hati
|
Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga
yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya
|
Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai
yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya
|
Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan
penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak
|
Agama oleh pemeluk-pemeluknya, akan
diperhatikan dengan habis-habisan sebab mereka telah terikat dan mengabdikan
diri
|
Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam
pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran pemeluknya
|
Agama disamping memenuhi pemeluknya dengan
sangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang menenangkan
jiwa pemeluknya. Filsafat penting dalam mempelajari agama
|
KESIMPULAN
Ada dua definisi
pengertian ilmu versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang
lahir melalui kacamata sudut pandang materialistik agar kita dapat melihat
perbedaan ekstrimnya.
Pertama adalah definisi pengertian ilmu versi sudut
pandang materialistik yang membuat definisi pengertian ilmu sebagai berikut:
ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera, dengan
metodologi ilmiah yang mutlak harus terbukti secara empirik. Sehingga bila
mengikuti definisi materialisme maka otomatis segala suatu yang bersifat
abstrak-gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi
tidak bisa dimasukan sebagai wilayah ilmu. Faham ini
berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ciptaan manusia sehingga batas
dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
Kedua adalah definisi pengertian ilmu versi
sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan ilmu sebagai suatu yang harus bisa
mendeskripsikan keseluruhan realitas baik realitas yang bersifat abstrak-gaib
maupun realitas yang bersifat lahiriah-material, sehingga dua dimensi yang
berbeda itu bisa dipahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan sistem.
Pandangan Ilahiah menyatakan bahwa ilmu adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan
sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa
dibatasi oleh manusia, artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut
pandang Tuhan dalam persoalan cara melihat dan memahami ilmu maka ilmu adalah
sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada manusia dengan misi Ilahiah tersendiri
agar manusia mengenal konsep kebenaran-Nya.
Perbedaan yang tajam
antara konsep ilmu versi materialisme dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya
berawal dari hal yang sederhana, yaitu: kekeliruan konsep ilmu versi
materialisme berawal dari pemahaman yang salah terhadap realitas karena
bersandar pada cara pandang bermata satu, menurut sudut pandang materialist realitas adalah segala suatu yang
bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera, sedang konsep realitas versi Tuhan: realitas adalah segala suatu
yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi “Ada”, dimana seluruh
realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi: yang abstrak-gaib dan yang
lahiriah-material, analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari
jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hardware.
Kaum materialist
membuat definisi konsep “ilmu” sebagai berikut: ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah
pengalaman dunia indera dengan metodologi ilmu yang dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan
secara empirik. Konsep ini bertentangan dengan konsep ilmu versi Tuhan, karena menurut versi kitab suci realitas terdiri dari dua dimensi
antara yang lahiriah-material dengan yang abstrak-gaib. Maka dalam pandangan Tuhan yang menjadi
konsep agama konsep ilmu tidak bisa dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia
indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan untuk selalu
terbukti langsung secara empirik oleh mata telanjang atau peralatan
sains, sebab dibalik realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi
untuk memahaminya pasti berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu dunia
material, dan kedua: manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas
yang bersifat lahiriah-material tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki
mata dan pengertian untuk menangkap dan memahami realitas atau hal-hal yang
bersifat abstrak. Dimana akal bila digunakan secara maksimal tanpa dibatasi
oleh prinsip-prinsip materialistik akan bisa menangkap konstruksi dari realitas
yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu padukan yang abstrak dan yang
konkrit), dan hati berfungsi untuk menangkap essensi dari segala suatu yang ada
dalam realitas ke satu titik pengertian (untuk kemudian melahirkan apa yang
disebut sebagai keyakinan).
Mengapa bisa terjadi sesuatu yang dianggap sebagian manusia sebagai
“benturan antara
agama dengan ilmu?” bila dilihat dengan kacamata Ilahi sebenarnya bukan terjadi
benturan antara agama dengan ilmu, sebab baik agama maupun ilmu keduanya berasal dari sumber yang
sama yaitu Tuhan dan merupakan dua aspek yang saling mengisi satu sama lain dan
karenanya mustahil berbenturan, sebab ada saling ketergantungan yang bersifat mutlak antara
keduanya.
Agama memerlukan ilmu agar konsep-konsep nya bisa dipahami dan ilmu
memerlukan agama agar identitas serta arah tujuannya bisa dideskripsikan secara
jelas. Jadi sebenarnya benturan itu terjadi karena faktor kesalah pahaman manusia dan kesalahan
manusia dalam membuat definisi pengertian ilmu sebagaimana yang dibuat oleh materialisme.
Dalam konsep Tuhan ilmu adalah suatu yang
memiliki dua kaki, yang satu berpijak di dunia abstrak dan yang satu berpijak
di dunia lahiriah-konkrit. Dengan pemahaman konsep ilmu seperti itu manusia
akan bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama, sebaliknya konsep ilmu versi
kaum materialistik hanya memiliki satu kaki yang hanya berpijak di dunia
konkrit yang bisa dialami oleh pengalaman dunia indera sehingga dengan konsep
seperti itu otomatis ilmu akan menjadi sulit atau tidak bisa menafsirkan serta
merekonstruksi agama. Jika ada pihak yang memprovokasi seolah ada benturan
antara agama versus ilmu maka kita harus analisis terlebih dahulu secara ilmiah
jangan menelannya secara mentah.
Konsep ilmu dalam materialisme ibarat kambing
yang dikekang oleh tali pada sebuah pohon ia tak bisa jauh melangkah karena
dibatasi wilayah jelajahnya harus sebatas wilayah pengalaman dunia indera
sehingga yang benar secara ilmiah menurut materialisme adalah segala sesuatu
yang mutlak harus terbukti secara empirik (tertangkap mata secara langsung), dengan
prinsip inilah kacamata sudut pandang materialisme menghakimi agama sebagai
sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu.
Realitas terdiri dari yang abstrak dan konkrit
sehingga untuk memahami keduanya secara menyatu padu otomatis metodologi ilmu
tak bisa dikonsep hanya sebatas yang bisa terbukti secara empirik sebab bila
dibatasi dengan batasan materialistik maka dunia abstrak otomatis akan menjadi
berada diluar konstruksi ilmu, sebab dalam wilayah konsep ilmu versi Ilahi
bukan saja dunia inderawi tetapi fungsi akal bermain logika harus di optimalkan
karena konsep ilmu versi Tuhan bukan hanya mengenal bentuk kebenaran empirik tetapi
juga kebenaran rasional (bentuk kebenaran yang dapat dianalisis oleh
keterampilan logika) serta kebenaran hakiki (kebenaran yang dinyatakan langsung
oleh Tuhan bukan melalui analisis manusiawi).
Kaum materialist tidak mau menerima bila konsep ilmu dikaitkan
dengan realitas dunia abstrak-gaib sebab landasan dasarnya memang berangkat
dari kacamata sudut pandang materialistik terhadap realitas yang bermata satu, yang pasti bila
kita menerima dan kemudian melihat serta menilai segala suatu dengan definisi
konsep ilmu versi sudut pandang materialist maka agama seperti terpaksa harus
dipahami hanya sebagai ajaran moral bukan kebenaran berasas ilmu
(sebagaimana pemahaman filsafat materialist terhadap agama). Padahal menurut konsep Tuhan agama adalah
kebenaran berdasar ilmu, artinya agama di buat oleh Tuhan dengan konsep yang
tertata secara konstruktif, hanya ilmu yang dimaksud adalah konsep ilmu yang
bersifat universalistik yang hanya bisa dipahami oleh manusia yang bermata dua (bisa
melihat kepada realitas dunia abstrak dan dunia lahiriah secara berimbang).
Banyak orang yang tanpa sadar memakai kacamata
materialisme dalam memahami hubungan agama dengan ilmu sehingga saat melihat
agama ia melihatnya sebagai suatu yang seolah berada diluar wilayah ilmu, itu
karena materialisme membatasi ilmu sebatas wilayah pengalaman dunia inderawi. Sedangkan
definisi pengertian ilmu versi Tuhan memang hanya dipahami sedikit orang yang
memiliki pandangan berimbang antara melihat ke dunia lahiriah dengan melihat ke
dunia abstrak-non fisik.
Agama yang dipahami secara benar dan ilmu pengetahuan yang juga dipahami secara
benar akankah nampak bertentangan?, tentu tidak. Sebab dua hal yang benar mustahil bertentangan satu sama lain
melainkan akan saling mengisi satu sama lain, walau masing-masing mengisi
ruang yang berbeda serta mengemukakan kebenaran dalam persepsi yang berbeda.
Hanya manusia
yang sering tidak bisa menyatu padukan beragam ruang serta beragam persepsi
yang berbeda padahal itu semua ada dalam satu realitas keseluruhan dan mengkristal kepada
suatu kesatuan konsep-makna-pengertian. Bila ingin memahami konsep agama dan ilmu secara
terstruktur maka kita harus mengkaji kitab suci secara ilmiah dengan tidak menaruh
prasangka negatif terlebih dahulu dan yang mesti diingat adalah bahwa segala
bentuk teori yang tidak berdasar fakta serta filosofi yang berdasar ideology
materialist yang sudah berada diluar sains murni semua bisa menjadi karat yang
membuat agama dengan ilmu akan nampak menjadi bertentangan, sebab agama hanya
menerima yang berdasar fakta kenyataan sebagaimana yang Tuhan ciptakan. Ironisnya
tidak sedikit ilmuwan yang menelan mentah-mentah konsep materialisme ini
sehingga agama dan ilmu menjadi nampak berada pada kotak yang saling berjauhan
yang seperti sulit atau tidak bisa disatu padukan.