Minggu, 23 Desember 2018

AGAMA DAN ILMU FILSAFAT


AGAMA DAN ILMU FILSAFAT






 Disusun Oleh:

Rizca Amira Puspa   11150810000084






JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2018 M





A.    Sejarah Kelahiran Filsafat
1.      Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kehidupan penduduknya sebagai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah. Kebiasaan mereka hidup di alam bebas sebagai nelayan itulah mewarnai kepercayaan yang dianutnya, yaitu berdasarkan kekuatan alam, sehingga beranggapan bahwa hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia.
Kepercayaan yang bersifat formalitas (natural religion) tidak memberikan kebebasan kepada manusia, ini ditentang oleh Homerus dengan dua buah karyanya yang terkenal, yaitu Ilias dan Odyseus. Kedua karya Homerus itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif. Sedemikian besar peranan karya Homerus, sama kedudukannya seperti wayang purwa di Jawa. Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir yang berkepercayaan sangat bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural religius berubah menjadi sistem cultural religius.
Dalam sistem kepercayaan natural religius ini manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan kultural religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah Thales (625 – 545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika. Likipos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles mengembang teori tentang dunia dan benda serta berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih terkenal.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos yaitu mite kosmogonis (tentang asal usul alam semesta) dan mite kosmologis (tentang asal-usul serta sifat kejadian-kejadia dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai mencari asche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya pada alam semesta maka corak pemikirannya kosmosentris. Sedangkan para ahli pikir seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa Yunani Klasik karena arah pemikirannya pada manusia maka corak pemikiran filsafatnya antroposentris. Hal ini disebabkan, arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
2.      Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 Masehi, setelah mendapatkan dukungan dari Karel Agung, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi dan musik. Keadaan yang demikan akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang ditandai berdirinya universitas-universitas dan ordo-ordo. Dalam ordo inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama, seperti Anselmus (1033 – 1109), Abaelardus (1079 – 1143), Thomas Aquinas (1225 – 1274).
Di kalangan para ahli pikir Islam (periode filsafat Skolastik Islam) muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode skolastik Islam ini berlangsung tahun 850 – 1200. pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Akan tetapi setelah jatuhnya kerajaan Islam di Granada di Spanyol tahun 1492 mulailah kekuasaan Politik Barat menjarah ke Timur. Suatu prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang filsafat. Di sini mereka merupakan mata rantai yang mentransfer filsafat Yunani, sebagaimana yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Islam di Timur terhadap Eropa dengan menambah pikiran-pikiran Islam sendiri. Para filosof Islam sendiri sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan Al-Qur’an adalah benar, mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa yang merupan sumbangan Islam yang paling besar, yang besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat terutama dalam bidang teologi dan ilmu pengetahuan alam. Peralihan dari abad pertengahan ke abad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi), yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad 15-16. munculnya Renaisance dan Humanisme inilah yang mengawali masa abad modern. Mulai zaman modern inilah peranan ilmu alam kodrat sangat menonjol, sehingga akibatnya pemikiran filsafat semakin dianggap sebagai teologi, yaitu sebagai suatu sarana untuk menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh akal manusia.
3.      Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman.
Di atas telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern. Di mana para ahli (filosof) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Dan pemikiran filsafat masa abad modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang menggunakan metode induksi / eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah, akibatnya perkembangan pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu alam kodrat (natural sciences). Rene Descartes (1596 – 1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat. Upaya ini dimaksudkan, agar kebenaran dan kenyataan filsafat juga sebagai kebenaran dan kenyataan yang jelas dan terang.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah kepada filsafat ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara / sarana apa yang dipakai untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley (1685 – 1753), David Hume (1711 – 1776), Rousseau (1722 – 1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft (1679 – 1754) dan Immanuel Kant (1724 – 1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk pengertian-pengertian yang jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk suatu kepribadian tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada filsafat Amerika, filsafat Perancis, filsafat Inggris, filasafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah Hegel (1770-18311), Karl Marx (1818 -1883), August Comte (1798 -1857), JS. Mill (1806 – 1873), John Dewey (1858 – 1952).
Akhirnya dengan munculnya pemikiran filsafat yang bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi pemikiran filsafat yang mendominasi. Giliran selanjutnya lahirlah filsafat kontemporer atau filsafat dewasa ini.
4.      Masa Abad Dewasa Ini
Filsafat dewasa ini atau filsafat abad ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer yang merupakan ciri khas pemikiran filsafat adalah desentralisasi manusia. Karena pemikiran filsafat abad ke-20 ini memberikan perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika sosial.
Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah; arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul karena bahwa realitas sekarang ini banyak bermunculan berbagai istilah, di mana cara pemakaiannya sering tidak dipikirkan secara mendalam, sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda-beda (bermakna ganda). Maka timbullah filsafat analitika, yang di dalamnya membahas tentang cara berpikir untuk mengatur pemakaian kata-kata / istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, dan sekaligus dapat menunjukkan bahaya-bahaya yang terdapat di dalamnya. Oleh karena bahasa sebagai obyek terpenting dalam pemikiran filsafat, maka para ahli pikir menyebut sebagai logosentris.

B.     Pengertian Filsafat
Istilah “filsafat” sendiri dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.      Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah, (Nasution, 1779: 9) yang berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti philos yaitu cinta, suka, dan sophia yaitu pengetahuan, hikmah. Jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher, dalam bahasa Arabnya failasuf(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2.      Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat adalah:
1.      pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya;
2.      Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
3.      Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan beberapa definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
1.      Plato (427 - 347 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
2.      Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3.      Al-Kindi (800 - 870). Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagi filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.
4.      Ibnu Sina (980-1037). Fisika dan metafisika sebagai suatu badan ilmu tak terbagi. Fisika mengamat-amati yang ada sejauh itu ada dan mengarah, mengetahui seluruh kenyataan sejauh dapat dicapai oleh manusia. Hal pertama yang dihadapi oleh seorang filusuf adalah bahwa yang ada (berwujud) berbeda-beda.
5.      Ibnu Rusyd (1126-1198). Filsafat itu hikmah yang merupakan pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia sebab ia dikaruniai oleh Allah dengan akal. Filsafat diwajibkan pula oleh Al-Qur’an agar manusia dapat mengagumi karya tuhan dalam persada dunia.

C.    Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya’lamu-ilman dengan wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan) scire (mengetahui). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.
Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Baik ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari pengetahuan dan pengetahuan yang dicari itu ialah pengetahuan yang benar. Dalam segi ini maksud kedua-duanya sama tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan. Pengetahuan ilmu melukiskan, sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan.

D.    Pengertian Agama
Kata agama berasal dari dua suku kata yaitu “A” yang berarti tidak ada “Gama” yang berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Albert Einsten (1879-1955) seorang ahli pikir bangsa Yahudi berkewarganegaraan Amerika Serikat, teoritikus terbesar dalam bidang ilmu alam, pemenang hadiah nobel tahun 1921 untuk sumbangan pada bidang fisika teori, tentang agama dan ilmu beliau berkata: “Ilmu tanpa agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi. Konsep din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat.
Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardhi (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.


E.     Objek Materi Filsafat dan Objek Formal Filsafat
1.      Objek Materi Filsafat
Adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada yang meliputi segala sesuatu yang konkrit seperti manusia, benda, binatang, dan lain-lain maupun yang bersifat abstrak. Tentang objek materi ini banyak yang sama dengan objek materi sains, bedanya ialah dalam dua hal pertama: sains menyelidiki hal yang empiris, filsafat menyelidiki objek itu juga tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yabg abstrak. Kedua: ada objek materi filsafat yang tidak diteliti oleh sains seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materi yang untuk selama-lamanya tidak empiris jadi objek materi filsafat lebih luas dari objek materi sains.
2.      Objek Formal Filsafat
Cara memandang seorang peneliti terhadap objek materi tertentu. Suatu objek materi tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda, yang mana objek formal filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karea ia hanya ingin tau sampai batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Sedangkan objek penelitian filsafat adalah pada daerah tidak dapat diriset tetapi dapat dipilarkan secara logis jadi sains menyelidiki dengan riset sedangkan filsafat menyelidiki dengan pemikiran.

F.     Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat
Semua manusia hidup yang normal senantiasa ditandai dengan kegiatan yang khas yaitu berpikir. Kegiatan berpikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, namun tidak semua kegiatan berpikir disebut dengan kegiatan berfilsafat. Demikian juga kegiatan secara kefilsafatan bukan hanya merenung atau kontenplasi belakang yang itdak ada sangkut pautnya dengan realita, namun berpikir secara kefilsafatan senantiasa berkaitan dengan masalah manusia dan bersifat aktual dan hakiki.
Maka suatu kegiatan berpikir secara kefilsafatan pada hakikinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Berpikir Kritis
Suatu kegiatan berpikir secara kefilsafatan senantiasa bersifat kritis yaitu senantiasa mempertannyakaan segala sesuatu, problem-problem, atau hal-hal yang lain. Sifat kritis ini juga mengawali perkembanggan ilmu pengetahuan modern.
2.      Bersifat Konseptual
Berpikir secara konseptual, yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran.
3.      Koheren (runtun)
Berpikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berpikir secara runtut.
4.      Komprehensif (menyeluruh)
Berpikir secara komprehensif (menyeluruh). Berpikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
5.      Bersifat Universal
Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
6.      Bersifat Terdalam
Berpikir secara universal atau umum. Berpikir secara umum adalah berpikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
7.      Bersifat Sistematis
Sistematik artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
8.      Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.



G.    Cabang-Cabang Filsafat
Dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik kita harus mempelajari cabang-cabang filsafat:
1.      Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa yunani “meta ta phisika” yang berarti hal-hal yang berada sesuda fisika, istilah tersebut dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang segala sesuatu secara mendalam atau sifat yang terdalam dari suatu kenyataan. Dibandingkan dengan ilmu fisika yaitu yang mempelajari gejala-gejala fisik ilmu biologi yang mempelajari fisis dan makhluk hidup. Maka metafisika mempelajari dan membahas tentang keberadaan segala sesuat benda fisis dari segi hakikatnya yang terdalam  yang memuat suatu bagian dari prsoalan dari filsafat yang:
a.       Membicarakan tentang prnsip-prinsip yang paling universal
b.      Membicarakan sesuatu yang bersifat keluarbiasaan
c.       Membicarakan persoalan-persoalan seperti: hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kemerdekaan, wujud tuhan, kehidupan setelah mati dan lain-lain.
2.      Epistemologi
Epistermologi berasal dari bahasa yunani “epistermo” (pengetahuan) secara umum epistermologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran pengetahuan tentang 3 persoalan pokok dalam epistermologi yaitu:
a.       Problem asal pengetahuan (orgin)
Apakah sumber-sumber pengetahuan?
Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?
b.      Problem penampilan (appearance)
Apakah yang menjadi karakteristik dari pengetahuan?
Apakah dunia yag riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya?
c.       Problem mencoba kebenaran (virification)
Apakah pengetahuan itu benar?
Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?


3.      Logika
Adalah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari segenap asa, aturan dan tata cara penalaran yang benar. Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional, logika pada hakikatnya mempelajari teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu bahan-bahan tertentu. Oleh Aristoteles logika disebutnya sebagai analitik yang kemudian dikembangkan oleh para ahli abad tengah yang disebut logika tradisional, mulai abad ke-19 George Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern ,sehingga dewasa ini logika menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi-lagi semata bersifat falsafati tetapi bercorak teknis dan ilmiah.
4.      Etika
Etika / prilaku filsafat sebagai suatu cabang filsafat yang membicarakan tindakan manusia dengan penekan baik dan buruk. Terdapat dua permasalahan, yaitu yang menyangkut tindakan dan baik-buruk. Apabila permasalahan jatuh pada tindakan maka etika disebut sebagai “filsafat praktis” sedangkan jatuh pada baik-buruk maka etika disebut “filsafat normatif”.
Dalam pemahaman etika sebagai pengetahuan mengenai baik-buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Sejalan dengan ini etika berbeda dengan agama yang didalamnya juga memuat dan memberikan norma baik-buruk dalam tindakan manusia. Karena etika mengandalkan pada rasio semata yang lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan sumber norma ilahi dan etika lebih cenderung bersifat analitis dari pada praktis, sehingga etika adalah ilmu yang berkerja secara rasional.
5.      Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang metode terutama dalam kaitannya dengan metode ilmiah. Hal ini sangat  penting dalam ilmu pengetahuan terutama dalam proses pengembangannya. Misalmnya metode ilmiah dalam ilmu sejarah, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi dan lain sebagainya.
6.      Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang keindahan estetika. Kata estetika berasal dari bahasa yunani “aesthetikaos” yang artinya bertalian dengan pencerapan (penginderaan).




H.    Metode-Metode Filsafat
Metode yang digunakan memecahkan problem-problem filsafat, berbeda dengan metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga macam metode untuk mempelajari filsafat, diantaranya:
1.      Metode Sistematis
Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar / mahasiswa terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada metode. Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari teori hakikat, teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas.
2.      Metode Histories
Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya dapat dibicarakan dengan demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misalnya dimulai dari membicarakan filsafat thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat,  maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan dalam membicarakan Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer.
3.      Metode Kritis
Metode ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Sebaiknya metode ini digunakan pada tingkat sarjana. Disini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun histories. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun menggunakan pendapat filusuf lain. 

I.       Persamaan antara Filsafat, Ilmu dan Agama
1.      Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
2.      Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
3.      Ketiganya hendak memberikan suatu pandangan yang bergandengan.
4.      Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
5.      Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

J.      Perbedaan antara Filsafat, Ilmu dan Agama
a.       Filsafat dan Ilmu

FILSAFAT
ILMU
Induk ilmu
Anak filsafat
Filsafat memiliki objek lebih luas, sifatnya universal
Objeknya terbatas (bidangnya saja)
Sinoptik, memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan untuk dapat menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya secara utuh
Deskriptif dan analitis, memeriksa semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut bagian-bagiannya
Bukan hanya menekankan keadaan sebenarnya dari objek, melainkan juga bagaimana seharusnya objek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting
Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan objeknya, netral, dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia
Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi
Memulai sesuatu dengan menggunakan asumsi-asumsi
Menggunakan semua penemuan ilmu pengetahuan, menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan menggunakan pikiran
Menggunakan metode eksperimen yang terkontrol dengan cara kerja dan sifat terpenting, menguji sesuatu dengan menggunakan indra manusia

b.            Filsafat dan Agama

FILSAFAT
AGAMA
Filsafat berarti berpikir, jadi yang penting ialah ia dapat berpikir
Agama berarti mengabdi diri, jadi yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu
Menurut William Tample, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami
Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat terutama yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan
C.S. Lewis membedakan “enjoymen” dan “contemplation”, misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta daisebut enjoymen, sedangkan memikirkan rasa cintannya disebut contemplation, yaitu pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu
Agama dapat dikiaskan dengan enjoymen atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian
(dedication) atau contentmen.
Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang diingin dan tenang
Agama banyak berhubungan dengan hati
Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya
Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya
Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak
Agama oleh pemeluk-pemeluknya, akan diperhatikan dengan habis-habisan sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri
Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran pemeluknya
Agama disamping memenuhi pemeluknya dengan sangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya. Filsafat penting dalam mempelajari agama


KESIMPULAN

Ada dua definisi pengertian ilmu versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialistik agar kita dapat melihat perbedaan ekstrimnya.
Pertama adalah definisi pengertian ilmu versi sudut pandang materialistik yang membuat definisi pengertian ilmu sebagai berikut: ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera, dengan metodologi ilmiah yang mutlak harus terbukti secara empirik. Sehingga bila mengikuti definisi materialisme maka otomatis segala suatu yang bersifat abstrak-gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa dimasukan sebagai wilayah ilmu. Faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ciptaan manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
Kedua adalah definisi pengertian ilmu versi sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan ilmu sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik realitas yang bersifat abstrak-gaib maupun realitas yang bersifat lahiriah-material, sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa dipahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan sistem. Pandangan Ilahiah menyatakan bahwa ilmu adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia, artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut pandang Tuhan dalam persoalan cara melihat dan memahami ilmu maka ilmu adalah sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada manusia dengan misi Ilahiah tersendiri agar manusia mengenal konsep kebenaran-Nya.
Perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi materialisme dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya berawal dari hal yang sederhana, yaitu: kekeliruan konsep ilmu versi materialisme berawal dari pemahaman yang salah terhadap realitas karena bersandar pada cara pandang bermata satu, menurut sudut pandang materialist realitas adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera, sedang konsep realitas versi Tuhan: realitas adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi Ada, dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi: yang abstrak-gaib dan yang lahiriah-material, analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hardware.
Kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut: ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera dengan metodologi ilmu yang dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik. Konsep ini bertentangan dengan konsep ilmu versi Tuhan, karena menurut versi kitab suci realitas terdiri dari dua dimensi antara yang lahiriah-material dengan yang abstrak-gaib. Maka dalam pandangan Tuhan yang menjadi konsep agama konsep ilmu tidak bisa dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti  langsung secara empirik oleh mata telanjang atau peralatan sains, sebab dibalik realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya pasti berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu dunia material, dan kedua: manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat lahiriah-material tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki mata dan pengertian untuk menangkap dan memahami realitas atau hal-hal yang bersifat abstrak. Dimana akal bila digunakan secara maksimal tanpa dibatasi oleh prinsip-prinsip materialistik akan bisa menangkap konstruksi dari realitas yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu padukan yang abstrak dan yang konkrit), dan hati berfungsi untuk menangkap essensi dari segala suatu yang ada dalam realitas ke satu titik pengertian (untuk kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai keyakinan).
Mengapa bisa terjadi sesuatu yang dianggap sebagian manusia sebagai benturan antara agama dengan ilmu? bila dilihat dengan kacamata Ilahi sebenarnya bukan terjadi benturan antara agama dengan ilmu, sebab baik agama maupun ilmu keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan dan merupakan dua aspek yang saling mengisi satu sama lain dan karenanya mustahil berbenturan, sebab ada saling ketergantungan yang bersifat mutlak antara keduanya.
Agama memerlukan ilmu agar konsep-konsep nya bisa dipahami dan ilmu memerlukan agama agar identitas serta arah tujuannya bisa dideskripsikan secara jelas. Jadi sebenarnya benturan itu terjadi karena faktor kesalah pahaman manusia dan kesalahan manusia dalam membuat definisi pengertian ilmu sebagaimana yang dibuat oleh materialisme.
Dalam konsep Tuhan ilmu adalah suatu yang memiliki dua kaki, yang satu berpijak di dunia abstrak dan yang satu berpijak di dunia lahiriah-konkrit. Dengan pemahaman konsep ilmu seperti itu manusia akan bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama, sebaliknya konsep ilmu versi kaum materialistik hanya memiliki satu kaki yang hanya berpijak di dunia konkrit yang bisa dialami oleh pengalaman dunia indera sehingga dengan konsep seperti itu otomatis ilmu akan menjadi sulit atau tidak bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama. Jika ada pihak yang memprovokasi seolah ada benturan antara agama versus ilmu maka kita harus analisis terlebih dahulu secara ilmiah jangan menelannya secara mentah.
Konsep ilmu dalam materialisme ibarat kambing yang dikekang oleh tali pada sebuah pohon ia tak bisa jauh melangkah karena dibatasi wilayah jelajahnya harus sebatas wilayah pengalaman dunia indera sehingga yang benar secara ilmiah menurut materialisme adalah segala sesuatu yang mutlak harus terbukti secara empirik (tertangkap mata secara langsung), dengan prinsip inilah kacamata sudut pandang materialisme menghakimi agama sebagai sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu.
Realitas terdiri dari yang abstrak dan konkrit sehingga untuk memahami keduanya secara menyatu padu otomatis metodologi ilmu tak bisa dikonsep hanya sebatas yang bisa terbukti secara empirik sebab bila dibatasi dengan batasan materialistik maka dunia abstrak otomatis akan menjadi berada diluar konstruksi ilmu, sebab dalam wilayah konsep ilmu versi Ilahi bukan saja dunia inderawi tetapi fungsi akal bermain logika harus di optimalkan karena konsep ilmu versi Tuhan bukan hanya mengenal bentuk kebenaran empirik tetapi juga kebenaran rasional (bentuk kebenaran yang dapat dianalisis oleh keterampilan logika) serta kebenaran hakiki (kebenaran yang dinyatakan langsung oleh Tuhan bukan melalui analisis manusiawi).
Kaum materialist tidak mau menerima bila konsep ilmu dikaitkan dengan realitas dunia abstrak-gaib sebab landasan dasarnya memang berangkat dari kacamata sudut pandang materialistik terhadap realitas yang bermata satu, yang pasti bila kita menerima dan kemudian melihat serta menilai segala suatu dengan definisi konsep ilmu versi sudut pandang materialist maka agama seperti terpaksa harus dipahami hanya sebagai ajaran moral bukan kebenaran berasas ilmu (sebagaimana pemahaman filsafat materialist terhadap agama). Padahal menurut konsep Tuhan agama adalah kebenaran berdasar ilmu, artinya agama di buat oleh Tuhan dengan konsep yang tertata secara konstruktif, hanya ilmu yang dimaksud adalah konsep ilmu yang bersifat universalistik yang hanya bisa dipahami oleh manusia yang bermata dua (bisa melihat kepada realitas dunia abstrak dan dunia lahiriah secara berimbang).
Banyak orang yang tanpa sadar memakai kacamata materialisme dalam memahami hubungan agama dengan ilmu sehingga saat melihat agama ia melihatnya sebagai suatu yang seolah berada diluar wilayah ilmu, itu karena materialisme membatasi ilmu sebatas wilayah pengalaman dunia inderawi. Sedangkan definisi pengertian ilmu versi Tuhan memang hanya dipahami sedikit orang yang memiliki pandangan berimbang antara melihat ke dunia lahiriah dengan melihat ke dunia abstrak-non fisik.
Agama yang dipahami secara benar dan ilmu pengetahuan yang juga dipahami secara benar akankah nampak bertentangan?, tentu tidak. Sebab dua hal yang benar mustahil bertentangan satu sama lain melainkan akan saling mengisi satu sama lain, walau masing-masing mengisi ruang yang berbeda serta mengemukakan kebenaran dalam persepsi yang berbeda.
Hanya manusia yang sering tidak bisa menyatu padukan beragam ruang serta beragam persepsi yang berbeda padahal itu semua ada dalam satu realitas keseluruhan dan mengkristal kepada suatu kesatuan konsep-makna-pengertian. Bila ingin memahami konsep agama dan ilmu secara terstruktur maka kita harus mengkaji kitab suci secara ilmiah dengan tidak menaruh prasangka negatif terlebih dahulu dan yang mesti diingat adalah bahwa segala bentuk teori yang tidak berdasar fakta serta filosofi yang berdasar ideology materialist yang sudah berada diluar sains murni semua bisa menjadi karat yang membuat agama dengan ilmu akan nampak menjadi bertentangan, sebab agama hanya menerima yang berdasar fakta kenyataan sebagaimana yang Tuhan ciptakan. Ironisnya tidak sedikit ilmuwan yang menelan mentah-mentah konsep materialisme ini sehingga agama dan ilmu menjadi nampak berada pada kotak yang saling berjauhan yang seperti sulit atau tidak bisa disatu padukan.

AGAMA DAN ILMU FILSAFAT

AGAMA DAN ILMU FILSAFAT   Disusun Oleh: Rizca Amira Puspa    111508100000 84 J URUSAN MANAJEMEN FAKULTAS...